Pada dasarnya, lisan adalah salah satu senjata yang dapat menentukan karakter seseorang. Hal itu bisa dibuktikan bahwa setiap perkataan dapat mengubah suatu keadaan menjadi lebih baik atau malah menjadi lebih buruk. Dengan lisan, orang menjadi disegani, dan dengan lisan pula orang bisa menjadi hina. Hifdzul lisan atau menjaga lisan didefinisikan sebagai tindakan yang sangat berhati-hati dalam berucap. Berhati-hati disini dimaksudkan sebagai menjaga agar setiap kata yang terucap bisa diterima oleh khalayak atau lawan bicara. Karena bisa jadi setiap kata yang terucap dapat menyinggung bahkan menyakiti hati orang lain. Dan ketika hal itu terjadi secara kontinu, secara tidak langsung karakter ideal kita dipertanyakan.
Menjaga lisan seringkali luput dari perhatian kita. Suasana obrolan yang santai hingga kadang melampaui batas dapat memicu keluarnya kata-kata emotif. Misalnya ketika sekelompok orang sedang berdebat. Nafsu untuk mempertahankan argumen dan melemahkan pendapat pihak lain kadang muncul di tengah adu argumen yang sedang berlangsung. Tak jarang kata-kata sindiran bahkan cacian terselip di antara kalimat-kalimat yang terucap. Dan di sinilah syetan beraksi. Dengan ditemani nafsu, ia akan semakin menggiring manusia untuk terus menerus berargumen.
“Aku jamin rumah di dasar surga bagi yang menghindari berdebat sekalipun ia benar, dan aku jamin rumah di tengah surga bagi yang menghindari dusta walaupun dalam bercanda, aku jamin rumah di puncak surga bagi yang baik akhlaknya”
(HR Abu Daud)
Sesunggahnya lisan adalah satu benda yang mampu membawamu menuju kemuliaan tertinggi tapi juga kehinaan serendah-rendahnya. Lisan laksana kapas yang melalaikan, laksana embun yang menyejukkan, laksana kerikil yang mengganggu, juga laksana belati yang menyakitkan.
Ayo kawan, kita senantiasa berusaha menjaga lisan kita untuk senantiasa berkata baik. Karena syetan pun ada yang menunggui lisan kita.
Na'udzubillah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar