Jumat, 11 April 2014

" NIAT "
     Saya selalu terkesan dan termotivasi dengan kisah-kisah orang yang hidup bersahaja tetapi mampu menoreh prestasi yang menurut saya luar biasa. Baru-baru ini saya membaca kisah di majalah Hidayatullah tentang seorang penjual rujak yang sukses berangkat haji. Menurut saya itu cerita yang luar biasa memotivasi saya. Bagaimana tidak? Seorang tukang rujak yang berpenghasilan sekitar Rp. 45.000/hari bisa berangkat haji, sementara kita yang mungkin berpenghasilan lebih dari itu masih terseok-seok untuk mengumpulkan uang untuk menabung guna tujuan yang sama, pergi berhaji! 
        Cerita-cerita seperti ini tidak hanya satu dua kali saya dapatkan.Sebelumnya saya juga pernah membaca tentang seseorang yang bekerja serabutan juga bisa berhasil menggapai cita-citanya untuk berangkat haji! Setelah membaca kisah-kisah tersebut biasanya saya selalu berpikir. Mengapa mereka bisa? Sementara saya atau bahkan orang-orang yang lebih mampu secara finansial dari tokoh-tokoh yang saya baca tadi belum juga tercapai sampai ke tanah suci Mekah? Sebagai bahan refleksi diri, saya selalu mengatakan bahwa: Mungkin niat saya kurang kuat, sehingga belum diberi kesempatan oleh Allah untuk bertemu di rumah-Nya! Refleksi itu senantiasa saya lakukan karena saya teringat penggalan kisah penjual rujak yang senantiasa menghadirkan kerinduan untuk pergi ke tanah suci dalam setiap kegiatannya berjualan rujak. Saking kuatnya niat itu, sampai-sampai dia lupa bahwa setiap hari dia telah berjalan puluhan kilometer menjajakan dagangannya. Luar biasa! 
        Ya, dengan mengingat cerita itu, saya senantiasa memperbarui dan menajamkan niat saya untuk menunaikan ibadah haji. Saudara pembaca sekalian. Saya juga ingin mengingatkan betapa keinginan kita untuk menulis juga sangat bergantung dari niat kita yang kuat. Jutaan rupiah yang Anda keluarkan untuk mengikuti pelatihan menulis tidak akan berarti apa-apa kalau Anda tidak mempunyai niatan yang kuat untuk segera menggerakkan jari-jari Anda pada tuts komputer/laptop anda! Begitu juga alasan betapa sibuknya waktu kita sehingga tidak ada kesempatan untuk menulis! Memang, jika niatan kita tidak kuat, akan ada beribu alasan bagi kita untuk memaafkan kemalasan kita. Pernahkah Anda mendengar kisah jalan panjang kesuksesan Joni Ardianto –seorang sastrawan dari Yogyakarta - yang senantiasa menulis selepas bekerja sebagai tukang becak atau jadi buruh pabrik? Atau juga keberhasilan novelis Sakti Wibowo yang hanya tamatan SMEA (SMK) dan harus menuliskan cerita-ceritanya selepas dia bekerja sebagai kuli bangunan? 
       Ya, memang kita sangat sibuk sehingga tidak ada waktu untuk menulis. Tetapi pernahkah anda membaca tentang Prof Dr. Imam Suprayogo, rektor UIN Maliki Malang, yang mendapatkan gelar sebagai “Rektor yang paling banyak menulis buku” dari MURI (Musium Rekor Indonesia)? Jika Anda ingin tahu intensitas beliau dalam menulis, silakan saja jadi teman atau “menjadi pelanggan” beliau di Facebook. Di sana Anda akan mendapati tulisan-tulisan beliau yang senantiasa di-update melalui gadget-nya. Nah, pertanyaannya ada dua untuk kita, lebih sibuk mana sih kita daripada Prof. Imam yang urusannya kadang membutuhkan dirinya harus meninggalkan rumah tidak hanya di dalam negeri tetapi ke luar negeri? Atau lebih berat mana sih pekerjaan kita daripada kuli bangunan dan tukang becak? Kalau jawaban pertama kita lebih sibuk dari Prof. Imam, maka alhamdulillah, memang kita punya alasan yang tepat untuk tidak menulis. Sedangkan kalau jawaban untuk pertanyaan kedua, ternyata pekerjaan kita juga lebih berat dari kuli bangunan dan tukang becak, berarti juga alhamdulillah memang kita punya alasan yang tepat untuk tidak menulis! 
( dikutip dari buku “Inspirasi & Motivasi Menulis” karangan Heri Mulyo Cahyo)

0 comments:

Posting Komentar